Minggu, 16 Februari 2014

Film Indonesia dan Kampanye Lingkungan Hidup


Oleh Agusmanthono, penikmat film, tinggal di Bengkulu.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Annida, sekitar setahun yang lalu :-p)

Kampanye tentang pemanasan global terus “memanas” dan “mengglobal”. Terlepas dari segala kontroversial yang masih ada, kampanye stop global warming telah memenuhi semua jenis media komunikasi publik di seluruh dunia. Mulai dari media cetak, radio, tv, dan internet. Tak ketinggalan dunia perfilman, isu-isu mengenai lingkungan hidup dan global warming juga telah menjadi tema banyak film yang diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia belakangan ini.

Sebagai media komunikasi publik yang populer, film bisa menjadi ajang kampanye yang efektif. Salah satu sebabnya adalah karena film merupakan konsumsi semua lapisan masyarakat. Film bisa diterima di semua kalangan, mulai dari kelas atas sampai masyarakat miskin. Mulai dari yang menonton di bioskop mahal di kota besar hingga yang menyewa DVD murahan bahkan bajakan, di pelosok-pelosok kampung. Selain populer, sifat film yang audio-visual juga lebih bisa menangkap realitas dan menampilkannya secara baik kepada publik. Dengan dipadukannya dengan unsur-unsur narrative seperti plot, konflik, emosi dan sebagainya, pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah diterima, bahkan terasa jauh lebih menggugah.


Dengan karakteristik demikian, tak heran jika banyak kalangan menjadikan film sebagai media pilihan utama untuk mengkampanyekan isu-isu lingkungan hidup dan global warming. Puluhan judul film dari seluruh dunia telah diproduksi untuk menggugah kepekaan publik terhadap isu-isu lingkungan. Komunitas-komunitas pecinta lingkungan membuat film-film dokumenter tentang bencana dan krisis yang diakibatkan oleh pemanasan global dan kerusakan lingkungan. Beberapa lainnya memproduksi film-film indie yang kemudian banyak yang berhasil menyedot perhatian publik. Perusahaan film besar juga tidak ketinggalan memproduksi film-film box office yang mengangkat tema lingkungan..

Kita tentu masih ingat begitu menyentuhnya perjuangan para beruang kutub dalam film Artic Tale yang dirilis tahun lalu. Dalam film itu diceritakan bahwa kenaikan suhu yang tajam di kutub artic Kanada telah merubah pola pencarian makan para beruang kutub, hingga pada satu titik dimana mereka harus berenang ke sebuah pulau yang dihuni oleh walruss. Sang beruang jantan akhirnya membunuh seekor walruss tua yang berusaha melindungi walruss yang lebih muda. Sang beruang betina kemudian ternyata menolak makanan yang diberikan oleh beruang jantan, seolah-olah dia memiliki perasaan seperti manusia. Di akhir film tesebut diisi dengan pesan-pesan dari anak-anak sekolah yang mengkampanyekan stop global warming dengan berbagai aksi unik, termasuk diantaranya dengan mandi air panas!

Beberapa tahun sebelumnya sebuah film besar berjudul The Day After Tomorrow sempat mengguncang bioskop-bioskop di seluruh dunia. Film disaster movie ini bercerita tentang bencana besar yang melanda seluruh negara-negara di bagian utara bumi akibat sebuah badai es yang dapat membekukan permukaan bumi yang dilewatinya dalam hitungan detik. Badai tersebut terjadi akibat pengaruh panas bumi yang merusak lapisan pelindung di atmosfer. Bumi terancam mengalami jaman es kedua. Dengan visual efek dan sinematografi yang megah, film ini kemudian berhasil meraih oscar untuk beberapa kategori.

Film lain tentang global warming adalah An Inconvinient Truth (2006). Film ini mewanti-wanti bahwa kita harus berusaha mencegah kerusakan lingkungan sekarang juga jika kita masih ingin menyisakan "tempat untuk hidup" bagi anak cucu kita kelak. Sipakapa Is Not for Sale adalah sebuah judul fim tentang perjuangan masyarakat Sipakapa di Guatemala untuk menentukan masa depan kotanya antara menerima atau menolak operasi tambang di wilayah mereka melalui referendum. Film ini pernah diputar dalam Festival film bertema lingkungan "South to South film festival" yang diadakan di beberapa kota di Indonesia awal tahun yang lalu, bersama dengan beberapa film dari berbagai negara seperti film tentang suku Dayak Penang berjudul Penusa Tana dari Malaysia, The Pampas Unknown Desert (Brazil), Jonthan Brown and The Lost Penguin (Australia), The Fridge (Chechnya), dan The Last Boy Riding (Philipina).

Artis-artis di seluruh dunia pun turut heboh mengkampanyekan global warming. Aktor Leonardo Dicaprio bahkan memproduksi beberapa film dokumenter mengenai global warming, diantaranya berjudul Water Planet, The Great Warming dan Global Warming. Kabarnya film-film tersebut dapat dilihat gratis di internet. Para creator film kartun dan animasi pun tidak mau berdiam diri untuk turut ambil bagian. Beberapa judul film animasi yang pernah saya tonton mengangkat isu lingkungan hidup diantaranya adalah Madagascar, The Wild, dan Happy Feet.

Tema yang Terlupakan dalam Perfilman Indonesia

Dunia Perfilman internasional begitu gembar-gembor mengangkat isu lingkungan dan global warming ini. Lantas, bagaimana dengan perfilman Indonesia? Sedikit miris dan ironis, di negeri ini ternyata tema semacam ini belum banyak diangkat. Entah mengapa, udara yang semakin panas dan perubahan iklim yang tidak lagi teratur (yang kabarnya adalah dampak pemanasan global) tidak memberi inspirasi bagi para pegiat film di negeri ini untuk mengangkatnya menjadi tema. Alih-alih mengangkat tema lingkungan hidup, film Indonesia justru lebih banyak berkutat pada tema-tema percintaan picisan, hantu dan mistik, gaya hidup, atau eksploitasi birahi dan kampanye free seks yang dikemas dalam komedi remaja ala American Pie.

Padahal Indonesia kabarnya termasuk dalam urutan atas negara-negara terbesar penyumbang polusi lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam semakin meraja lela. Kerusakan hutan akibat illegal logging menjadi masalah pelik yang tak kunjung selesai. Tapi semua itu belum cukup menarik perhatian para pegiat film untuk diangkat menjadi tema cerita.

Hanya beberapa gelintir komunitas kecil saja yang kemudian mencoba memproduksi film-film pendek tentang lingkungan, yang mana publikasinya sendiri sangat terbatas. Padahal beberapa diantaranya memiliki kualitas yang "memadai", namun karena keterbatasan promosi dan distribusi menjadi kurang dikenal. Tahun 2004, sebuah film dokumenter produksi Indonesia mendapat penghargaan di tingkat internasional. Tanah Impian (The Dream Land) judul film tersebut. Bercerita tentang sepuluh tahun perjuangan rakyat Porsea di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, melawan perusakan lingkungan oleh PT Inti Indorayon Utama yang hadir di wilayah tersebut. Film tersebut masuk 10 besar 12th Eart Film Festival di Tokyo Jepang, mengalahkan 132 film dari berbagai pelosok dunia yang layak dinilai. Tapi di negeri ini film tersebut tidak dikenal.

Penyebab tidak mengangkatnya isu lingkungan dalam perfilman Indonesia bisa jadi karena para pegiat film masih meragukan penerimaan masyarakat terhadap tema-tema baru selain tema-tema pakem yang sudah pasti laris di atas. Para produser masih takut untuk mencoba "nyeleneh" dan berspekulasi dengan biaya produksi. Padahal, menurut hemat saya, jika para produser jeli, isu seputar lingkungan hidup bisa menjadi topik yang menjanjikan untuk diangkat dalam film. Secara, isu lingkungan ini juga sedang hangat di negeri ini. Sebuah film yang mengangkat isu yang sedang hot tentu akan menarik perhatian publik.

Selain itu negeri ini punya sumber yang sangat melimpah untuk di-eksplore, baik dari segi setting maupun dari segi cerita. Kisah-kisah inspiratif mengenai perjuangan menyelamatkan lingkungan hidup yang dilakukan oleh para penerima penghargaan Kalpataru misalnya, bukankah sangat menarik jika diangkat menjadi film? Negeri ini juga mencatat banyak kasus berkaitan dengan masalah lingkungan. Sebut saja persoalan illegal loging dan sistem jaringan yang menopangnya di belakang, pencemaran air oleh limbah pabrik, pencemaran kampung oleh limbah tambang, perusakan hutan lindung yang disengaja oleh masyarakat dan pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Semuanya begitu menarik untuk digali dan diangkat menjadi film. Tinggal good will dari para pegiat film saja untuk melakukannya. Kita tunggu saja.


Film Islami Bertema Lingkungan?
Sejak booming film Ayat-ayat Cinta yang akan segera disusul oleh film Ketika Cinta Bertasbih dan beberapa film lainnya, geliat film Islami mulai terasa gairahnya di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Beberapa produser kemudian mulai melirik genre film yang nyaris terabaikan sepanjang sejarah perfilman kita ini. Beberapa judul seperti Kun Fayakun, Mengaku rasul, dan sebagainya mewakili fenomena ini. Namun, agar film Islami tidak sekedar menjadi tren yang hot untuk sesaat saja, kreatifitas dalam mengangkat tema cerita mutlak diperlukan. Kalau tidak, film islami bisa mentok pada tema-tema seputar cinta yang "Islami", poligami, atau kotbah yang mendikte dan "mengancam" orang agar tobat semata, yang ujung-ujungnya membuat penonton jenuh.

Sebagai agama yang mengajarkan nilai-nilai universal, Islam memberi pakem pada umatnya umatnya agar menjadi rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Itu artinya seorang Muslim harus menjadi sahabat bagi lingkungan dan bukan justru merusaknya. Dengan ajaran mulia ini semestinya seorang muslim juga harus peka terhadap isu-isu lingkungan. Bukankah seharusnya kepekaan tersebut dapat pula terekspos dalam sebuah film? Kita tentu berharap isu-isu seputar lingkungan ini juga dapat menjadi tema film-film Islami kita di masa yang akan datang. Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar